Jurnal Ombudsman Daerah Edisi 11

Indonesia sebagai negara dengan potensi bencana yang besar mulai tersadar akan pentingnya kemampuan sistemik untuk penanganan bencana setelah peristiwa Tsunami Aceh akhir 2004 lalu. Hampir seluruh kawasan di negeri ini tidak lepas dari kerentanan akan bencana alam. Demikian pula di D.I.Yogyakarta, sebuah kawasan yang berada diantara pantai selatan Samudera Hindia dengan potensi gempa tektonik akibat pergeseran lempeng benua. Sedangkan sebelah utara merupakan ancaman erupsi dan gempa vulkanik yang bersifat siklikal dari Gunung Api Merapi yang paling aktif di negeri ini.

Meskipun sistem penanggulangan bencana secara nasional baru mendapatkan perhatian seiring dengan lahirnya Undang-undang Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007. Regulasi ini telah  memastikan tanggung jawab pelayanan publik pemerintah dalam penanggulangan bencana yang juga harus menganut prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan non diskriminasi (pasal 3 ayat 2). Selain itu, tanggung jawab pemerintah juga terkait penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum (pasal 6). Artinya, dalam konteks bencana (pra-bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana) negara menjamin pelayanan publik yang diberikan aparatur pemerintahannya harus tetap berjalan.

Beranjak dari hal tersebut, Lembaga Ombudsman Daerah D.I. Yogyakarta sebagai salah satu lembaga pengawasan eksternal pelayanan publik pemerintah juga menerima pengaduan dari masyarakat terkait dengan pelayanan publik dalam penanggulangan bencana. Melalui rangkaian tulisan dalam Jurnal Ombudsman Daerah edisi kali ini, LOD berkeinginan turut mencermati sistem penanggulangan bencana yang sedang berproses di DIY. Konteks yang melatarbelakangi pemilihan tema jurnal kali ini adalah peristiwa bencana erupsi Merapi tahun 2010 lalu yang saat ini mulai memasuki fase penanggulangan pasca bencana. Selain itu, munculnya beberapa laporan pengaduan layanan publik pemerintah terkait proses relokasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi yang telah ditangani oleh LOD DIY memberikan gambaran sistemik tentang penanggulangan bencana, khususnya sektor pelayanan publiknya.

Rangkaian fokus artikel tersusun mulai dari grand desain sistem penanggulangan bencana di DIY, mulai dari framework hingga fungsionalisasinya. Menggunakan pengalaman erupsi Merapi 2010 sebagai pintu masuk untuk melakukan overview terhadap keseluruhan sistem penanggulangan bencana, kajian pertama menunjukkan adanya paradoks pendekatan spiritual dari sistem otoritas tradisional ketika harus berhadapan dengan otoritas kelembagaan modern berbasis rasionalitas keilmuan dalam menterjemahkan gejolak alam. Problem paradoksal tidak berhenti pada pendekatan yang digunakan namun juga pada tataran instrumentasi respons kelembagaan terhadap kerentanan. Pergeseran fungsionalitas dari sistem tradisional mempengaruhi kemampuan respon dan adaptasi terhadap ancaman maupun resiko yang dihadapi. Padahal disisi lainnya, pelembagaan BPBD yang masih awal dituntut untuk mampu mengambil alih fungsi mobilisasi segala sumber daya potensial maupun aktual secara nyata dan cepat.

Kebutuhan yang tak terelakkan kemudian adalah, ‘kepemimpinan lapangan’ yang mampu mengambil alih segala fungsi tersebut dalam konsep governability. Konsep governability ini kemudian hadir bukan dalam bentuk kepemimpinan sosok, figur, ataupun tokoh namun hadir dalam sistem. Pengalaman Merapi menunjukkan ‘kepemimpinan lapangan’ ini lebih diperankan oleh sistem informasi yang reliable, cepat, dan akurat yang dapat disampaikan dan diakses oleh siapapun demi respons kemanusiaan dalam kondisi tanggap darurat. Cerita sukses sistem informasi dan komunikasi berbasis komunitas yang diinisiasi oleh Jalin Merapi melengkapi gambaran tentang ‘kepemimpinan lapangan’ tersebut.

Penggalan kajian lainnya melihat lebih fokus pada aspek pelayanan publik yang diberikan negara dalam kondisi bencana dan paska bencana. Basis argumentasinya adalah, pengalaman LOD DIY dalam menangani laporan pengaduan terkait layanan publik dalam penanggulangan bencana. Banyaknya laporan pengaduan masyarakat secara langsung kepada LOD DIY semasa tanggap darurat sampai fase rehabilitasi dan rekonstruksi menggambarkan persoalan sistemik dari proses layanan publik dalam kondisi bencana. Persoalan distribusi layanan, penentuan jaminan hidup (jadup), pembagian shelter hunian sementara dan hunian tetap di wilayah relokasi penduduk menjadi rangkaian cerita kupas kasus layanan publik yang ada di lokasi bencana.

Selain itu, istilah ‘bencana regulasi’ sempat muncul menyusul kebijakan relokasi hunian yang berimbas pula dalam penyelenggaraan layanan publik dasar. Kasus relokasi SD Negeri Srunen dari Kawasan Rawan Bencana III padukuhan Srunen sangat jelas menggambarkan problematiknya pelayanan publik di kawasan bencana. Tari ulur perspektif pemerintah yang tunduk regulasi dan warga yang enggan relokasi, berkelindan dengan proses birokrasi, koordinasi antar instansi, dan pihak ketiga selaku donor. Hal ini menyebabkan berlarutnya penentuan kebijakan layanan pendidikan dasar tersebut.

Bagian akhir rangkaian tulisan jurnal kali ini akan dilengkapi dengan resensi bacaan seputar manajemen bencana yang merupakan sebuah karya dari Nurjanah, dan kawan-kawan terbitan Alfabeta Bandung 2011 yang harapannya akan turut memberikan sudut pandang lain dalam menajemen penanggulangan bencana.

Selamat Membaca.