Buletin Lembaga Ombudsman Daerah DIY Edisi 4 Tahun 2010
Suatu siang untuk kesekian kalinya sebuah stasiun televisi menanyangkan sebuah berita tentang razia pengamen, pengemis, dan kaum marjinal lain yang sedang beraktivitas di jalanan. Sebuah tayangan yang sudah akrab dan sehari-hari dipertontonkan oleh media massa elektronik kita, selain berita-berita lain terkait penggusuran, politik, hukum, eksekusi, dan lain sebagainya. Penulis kemudian berpikir, apa yang salah dengan mereka yang hidup dan bekerja di jalanan, ketika negara tidak hadir untuk mereka yang ingin diisi dengan sekedar sepiring nasi seharga ribuan rupiah saja, tidak seperti mereka yang menikmati uang negara dan dapat membeli sepiring hidangan dengan harga ratusan ribu rupiah. Benarkah negara tidak pernah hadir untuk mereka yang hidup di jalanan, bagaimana dengan kebijakan negar bagi mereka?
Administrasi Kependudukan Bagi Orang Terlantar
UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang baru yaitu UU 23 Tahun 2006 khususnya Pasal 2 mengatur bahwa, Setiap Penduduk memperoleh hak untuk memperoleh Dokumen Kependudukan dan pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Penduduk yang dimaksud dalam UU 23 Tahun 2006 tersebut adalah Warga Negara Indonesia (WNI) atau Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Itu artinya setiap WNI mempunyai hak untuk memperoleh dokumen kependudukan dan pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. WNI yang dimaksud di dalam undang-undang tersebut adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai WNI. Pasal 25 UU Adminduk tersebut mengatur bahwa Instansi Pelaksana wajib melakukan pendataan Penduduk Rentan Administrasi Kependudukan yang meliputi penduduk korban bencana alam, penduduk korban bencana sosial orang terlantar, dan komunitas terpencil. Hasil pendataan tersebut digunakan sebagai dasar penerbitan Surat Keterangan Kependudukan untuk Penduduk Rentan Administrasi Kependudukan.