Buletin Lembaga Ombudsman Daerah DIY Edisi 3 Tahun 2011

Penataan pertanahan hampir dalam 50 tahun terakhir masih menyisakan persoalan mendalam. Pernah dalam satu waktu Indonesia meletakkan regulasi pertanahan nasional melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 untuk menyelesaikan secara radikal status kepemilikan, tata kuasa dan tata kelola pertanahan. Regulasi ini senyatanya telah meletakkan orientasi politik pertanahan Indonesia dengan menjawab 3 hal ration de’ entre (Aprianto;2009), yaitu: pertama, peletakan dasar hukum agraria nasional yang sekaligus merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kedua, peletakan dasar kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum agraria yang bersifat nasional yang mengakhiri politik hukum agraria kolonial yang bersifat dualistis dan rumit. Ketiga, peletakan dasar bagi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Sementara itu untuk mencapai berbagai tujuan tersebut, dalam UUPA terkandung beberapa prinsip pendukungnya: (i) prinsip nasionalitas, (ii) prinsip hak menguasai dari negara, (iii) prinsip tanah mengandung fungsi sosial, (iv) prinsip land reform, (v) prinsip perencanaan agrarian.

Dalam ranah publik, beragam persoalan agraria telah menyuguhkan kasus konflik maupun sengketa pertanahan yang menyentuh kebutuhan mendasar untuk mendapatkan jawaban yang mengartikulasi dengan baik rasa keadilan sosial. Secara umum, kasus pertanahan sangat terkait dengan kejelasan status tanah, hak atas tanah, maupun akses informasi pertanahan (LOD DIY, 2008-2009). Bahkan seiring dengan hilangnya kepastian bagi publik untuk mengelola dan memanfaatkan tanah, peran negara tidak mungkin lagi melakukan pembiaran. Karena justru pembiaran tersebut selain membuat ilusi dan problem pertanahan semakin akut.

Selengkapnya