Buletin Lembaga Ombudsman DIY Edisi 1 Tahun 2017
Pengesahan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa merupakan momentum penting ke depan untuk menjadikan desa sebagai subjek pembangunan bagi dirinya sendiri. Harapan dari semangat regulasi baru ini adalah kesejahteraan yang selama 68 tahun Indonesia merdeka, desa selalu berada dalam kubangan permasalahan klise: kemiskinan dan ketertinggalan. Undang-Undang (UU) ini adalah power bagi warga desa untuk menggapai buah-buah Anggaran Pembangunan Belanja Nasional (APBN) yang selama ini justru lebih sering dinikmati oleh kalangan elit pusat.
Terlepas dari mencuatnya politik klaim atas lahirnya UU Desa ini, ada agenda penting dan mendesak yang perlu digalakan pasca disahkannya UU Desa ini, yaitu mereformasi subjek-subjek desa yang nantinya dalam keseharian akan menjadi impelementor dari pembangunan desa. Melalui UU ini, peluang mewujudkan desa yang sejahtera sangat terbuka, desa kini bisa mengontrol atas sumber daya ekonominya dan mendefinisikan secara otentik arah pembangunannya. Yang tak kalah penting, UU ini akan mengatur 10% dari APBN akan disalurkan ke desa. Anggaran tersebut tentu merupakan jumlah besar yang perlu dikelola secara akuntabel. Mengingat ‘beratnya’ peran ini, tentunya kebijakan ini tidak bisa dilaksanakan dengan cara ala kadarnya. Oleh karena itu, para perangkat desa sebagai garda depan pelaksanaan UU ini harus mulai melakukan pembenahan diri.
Agenda reformasi desa tidak bisa dilakukan dengan sekali shoot saja. Perlu perencanaan yang matang dan menyeluruh, tidak bisa dilakukan dalam porsi tanggung. Hal yang paling penting adalah kesetiaan kolektif kepada momen (reformasi) yang dikontstruksi, karena bukan satu-dua cerita beragam agenda reformasi yang dilaksanakan di Indonesia justru surut di tengah jalan. Guna menuju good village governance, format reformasi yang dilaksanakan harus berbasis pada empowerment. Chatre (2008) menjelaskan bahwa transparansi, akuntabilitas dalam desentralisasi, begitu pula dalam konteks desentralisasi pada desa, tidak dapat dikonseptualisasikan atau dianalisis secara terpisah dari transparansi dan akuntabilitas lembaga tinggi representasi dan pemerintahan, sehingga transparansi dan akuntabilitas desa ke depan akan selalu saling berkait dengan transparansi dan akuntabilitas daerah serta transparansi dan akuntabilitas negara yang harus juga ikut mengawal dari dilaksanakannya UU ini. Dengan kata lain, negara tetap memiliki tanggung jawab penuh dalam proses menjadikan desa sebagai subjek. Maka ihwal yang penting dari tanggungjawab ini yaitu flow of power dari negara kepada desa sampai desa mampu mendefinisikan dan melaksanakan pembangunannnya sendiri….